A. Latar Belakang Lahirnya UU No. 2 Tahun 2012
Pertumbuhan
ekonomi Indonesia yang semakin tinggi membawa dampak meningkatnya
pembangunan infrastruktur oleh pemerintah baik pusat maupun daerah.
Dalam pelaksanaannya pembangunan infrastruktur membutuhkan tanah yang
mana selama ini pengadaannya sulit dan memakan waktu lama. Sebagaimana
diungkapkan oleh Direktur Pengaturan dan Pengadaan Tanah Pemerintah
Badan Pertanahan Nasional Afrizal bahwa, alasan diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 karena pelaksanaan pengadaan tanah
sekarang ini masih lambat dalam mendukung pembangunan infrastruktur.
Pelaksanaan pengadaan tanah selama ini menurutnya juga masih dilakukan secara ad hoc dan menimbulkan banyak permasalahan serta belum menjamin kepastian waktu dalam pembebasan tanahnya.
Pelaksanaan pengadaan tanah selama ini menurutnya juga masih dilakukan secara ad hoc dan menimbulkan banyak permasalahan serta belum menjamin kepastian waktu dalam pembebasan tanahnya.
Maka
dari itu dalam UU No. 2 Tahun 2012 dijelaskan bahwa tanah diperlukan
untuk pembangunan kepentingan umum, yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap
menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak. Selain itu juga karena
peraturan yang ada saat ini belum dapat mendukung perolehan tanah untuk
pembangunan kepentingan umum. Oleh karena itu, pengadaan tanah untuk
kepentingan umum perlu diatur dengan undang-undang agar pembangunan
infrastruktur dapat dipercepat dan memberikan kepastian hukum, yang
akhirnya akan mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia.
Selain
alasan-alasan di atas, latar belakang lahirnya undang-undang ini juga
dipengaruhi oleh pertemuan-pertemuan internasional, dan juga berbagai
perencanaan strategis pembangunan Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh
Sukardi Bendang dalam makalah bertema “Pemanfaatan Tanah Adat Untuk Kepentingan Penanaman Modal” di Padang, 8 Desember 2011, seperti :
· Pertemuan ke empat para Menteri bidang Infrastruktur di Bali 14-15 Oktober 2003
· Infrastructure Summit, tanggal 17-18 Januari 2005 di Jakarta, pelibatan swasta pembangunan infrastruktur.
· Lahir
payung hukum untuk investasi swasta Perpres No 65 Tahun 2006 yang
memberikan landasan bagi pengambil alihan tanah rakyat (sebelumnya
Perpres 36 tahun 2005).
· UU nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal, masa HGU (Hak Guna Usaha) sampai 95 tahun.
· Konferensi Tingkat Menteri Asia Pasifik untuk kerjasama pemerintah dan swasta dalam bidang pembangunan infratsruktur (public privat partnership (PPP) tahun 2008 di Seoul Korea Selatan.
· Hasil:
resolusi UNESCAP No 64/4 dan Deklarasi Seoul tentang PPP yang
merekomendasikan kerjasama negara- negara Asia Pasifik untuk
pembangunan infrastruktur dan konstruksi di kawasan.
· Konferensi
Tingkat Menteri Asia Pasifik (agenda : Kerja Sama Pemerintah dan Swasta
dlm pengembangan infrastruktur) dalam rangkaian pertemuan international
Infrastructure Asia – Pasifik 2010 pada 14-17 April 2010 (BAPPENAS)
· Rekomendasi : mekanisme Kerja Sama Pemerintah dan Swasta serta Payung hukum investasi
· Pertemuan sektoral lanjutan lainnya antara swasta dan pemerintah.
2. Masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MPPEI) 2011-2025
Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian ,dan Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional mengeluarkan MPPPEI 2011 – 2025 (21 Februari 2011) membagi
Indonesia dalam 6 koridor ekonomi:
· Koridor
Sumatera ( sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung
energi nasional (sektor fokus & strategi : Minyak Sawit, Karet dan
Batu Bara)
· Koridor Jawa (pendorong industri dan jasa)
· Koridor Kalimantan (pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional)
· Koridor Sulawesi – Maluku Utara (pusat produksi & pengolahn hasil pertanian,perkebunan dan perikanan nasional)
· Koridor Papua – Maluku (pengolahan sumber daya alam yang melimpah dan sdm yang sejahtera)
· Koridor Bali – Nusa Tenggara (pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional)
B. Kepentingan yang Mengikuti lahirnya UU No. 2 Tahun 2012
Tidak
bisa dipungkiri bahwa undang-undang dan produk hukum lainnya merupakan
hasil dari proses politik, yang tentu saja didalamnya terdapat berbagai
kepentingan terhadap adanya undang-undang atau aturan hukum tersebut.
Begitupun dalam proses lahirnya undang-undang ini, kepentingan swasta
dan bisnis sangat terlihat atas nama kepentingan umum. Meskipun definisi
kepentingan umum itu sendiri juga belum jelas, dalam pasal 10
dijelaskan bahwa yang dimaksud kepentingan umum lebih bersifat
pembangunan fisik seperti jalan tol dan pelabuhan, yang otomatis banyak
menguntungkan pihak swasta.
Arie
Sukanti Hutagalung Guru Besar Hukum Pertanahan Universitas Indonesia
(UI) juga mengungkapkan bahwa, disusunnya undang-undang ini cukup
politis, karena terkait dengan kepentingan sejumlah politisi dalam
bisnis sejumlah infrastruktur, utamanya jalan tol. Bahkan Direktur
Pengaturan dan Pengadaan Tanah Badan Pertanahan Nasional Noor Marzuki
mengatakan, "Banyak korban akibat proses pengadaan tanah, bupati/ wali
kota dan sekda harus masuk penjara, tidak sedikit pula pegawai BPN yang
juga terpaksa harus berurusan dengan hukum”.
Hal
ini mencerminkan bahwa undang-undang ini secara tidak langsung
menguntungkan para pengusaha, karena mereka bisa berdalih ‘merampas’
tanah rakyat untuk kepentingan umum. Patut di ingat pula, pembahasan
undang-undang ini juga mendapat bantuan dari ADB yang memiliki banyak
proyek infrastruktur di Indonesia. Dengan dalil pembangunan sebagaimana
yang dikehendaki Asian Development Bank/Bank Pembangunan Asia dan Bank
Dunia dan Japan Bank for International Cooperation/ JBIC, pemerintah telah menelan bulat-bulat segala yang diperintahkan oleh lembaga lembaga-lembaga donor tersebut.
Terlihat
jelas disini kepentingan masyarakat kecil tidak semuanya terakomodasi
dalam undang-undang ini. Karena definisi kepentingan umum yang tidak
jelas, sedangkan dari pasal 10 undang-undang ini kepentingan umum
digunakan untuk membangun antara lain :
1.pertahanan dan keamanan nasional;
2.jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
3.waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
4.pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
5.infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
6.pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
7.jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
8.tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
9.rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
10.fasilitas keselamatan umum;
11.tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
12.fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
13.cagar alam dan cagar budaya;
14.kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
15.penataan
permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan
untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
16.prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
17.prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
18.pasar umum dan lapangan parkir umum.
Kepentingan
umum disini bersifat pembangunan fisik, jika kita melihat lahan
pertanian yang makin sempit namun perannya sangat penting untuk
kesejahteraan bersama, apakah juga disebut kepentingan umum dan
kepentingan pembangunan? Karena jika dilihat, karakteristik pertanian
ini juga bisa masuk seperti minyak dan gas bumi yang bermanfaat untuk
orang banyak, namun mengapa sawah dan pertanian ini tidak masuk kedalam
kepentingan umum? Sebab disini yang diuntungkan adalah para pengusaha
besar sedangkan petani kecil tidak. Maka dari itu undang-undang ini
tidak mengakomodasi kepentingan petani, baik oleh pemerintah maupun DPR.
Akibatnya petani akan menjadi korban pembangunan yang mengharuskan
mengambil lahan pertanian, yang mana jika lahan pertanian semakin
sedikit maka ketahanan pangan dan kepentingan umum juga terganggu.
Masalah ini diungkapkan oleh Sukardi Bendang, masih dalam makalah bertema “Pemanfaatan Tanah Adat Untuk Kepentingan Penanaman Modal” di Padang, 8 Desember 2011,
bahwa UU ini tidak akan belaku efektif untuk menyelenggarakan
pembangunan yang berkeadilan rakyat karena sejumlah prasyarat belum
tersedia :
· Petani dan rakyat miskin lainnya belum di berikan hak atas tanah sebagai sumber ekonomi keluarganya (pendistribusian tanah)
· Pengakuan
formal terhadap hak-hak masyarakat belum diberikan dan dilaksanakan
secara penuh termasuk hak adat belum dibuat partisipatif, integratif dan
dilaksanakan secara konsisten (RTRW di buat berdasarkan kepentingan
segelintir orang)
· Akses petani dan masyarakat terhadap informasi pada badan-badan publik belum terpenuhi.
· Tidak adanya mekanisme keberatan yang dapat diakses publik dengan mudah.
· Belum terciptanya peradilan yang bersih dan memenuhi rasa keadilan petani dan rakyat kecil.
C. Potensi masalah yang timbul akibat lahirnya UU No. 2 Tahun 2012
Kehadiran
UU No. 2 Tahun 2012 ini harus diakui merupakan kemajuan dalam perolehan
tanah untuk kepentingan umum, setelah selama ini perolehan tanah cukup
rumit dilakukan dan memakan banyak waktu serta biaya. Dengan
undang-undang ini kepastian hukum terhadap tanah yang akan digunakan
lebih terjamin, begitupun jangka waktu prosesnya lebih terjamin, yakni
tidak lebih dari dua tahun.
Namun
demikian, menurut Arie Sukanti yang berpotensi menimbulkan masalah
adalah budaya hukum dan budaya kerja birokrasi di Indonesia, yang belum
cukup menunjang proses yang cepat. “Sampai saat ini, kita masih akrab
dengan budaya kerja birokrasi yang kalau bisa diperlambat mengapa harus
dipercepat,”. Hal ini dapat kita lihat dalam kehidupan ehari-hari, tidak
hanya dalam pengurusan tanah, melainkan dalam pelayanan birokrasi lain
juga kita sering dibuat marah karena lambannya kinerja birokrat kita.
Maka dari itu potensi masalah yang timbul justru dari dalam diri kita
sendiri yang belum siap terhadap perubahan, PR besar bagi bangsa ini
jika ingin berubah dan maju.
Sementara
itu, Marwan Batubara mencermati potensi aji mumpung (moral hazard)
dalam keseluruhan proses pengadaan tanah, karena begitu banyaknya
instansi yang terlibat di dalamnya, serta pelaksana yang berganti- ganti
di setiap tahapan. Untuk menghindari ini, pemerintah pusat dan daerah
harus menjamin proses pengadaan tanah sesuai prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik, yakni transparan, akuntabel, efisien, efektif,
proaktif, profesional, partisipatif, taat hukum, dan berwawasan ke
depan.
Selain
itu ditunjuknya Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai penyelenggara
dalam tahap pelaksanaan pengadaan tanah, dengan pelaksananya Kepala
Kantor Wilayah (Kanwil) BPN. Sedangkan dalam tahap persiapan pengadaan
tanah, ketua pelaksananya adalah bupati/ walikota. Menurut Arie Sukanti
merupakan pembagian tugas yang terbalik dan tidak fungsional, sebab yang
diperlukan BPN adalah peta tanah. Sehingga BPN mestinya sebagai ketua
pelaksana dalam tahap persiapan, sedangkan pelaksanaan pengadaan tanah,
bupati/walikota adalah pelaksananya.
Hal
lain yang berpotensi menimbulkan masalah adalah, pelanggaran HAM dalam
penggusuran yang selama ini terjadi akan menjadi lebih sering dilakukan.
Dengan sedikitnya tanah masyarakat yang sudah memiliki dokumen resmi,
maka kepemilikannya akan menjadi terancam. Jika yang memiliki dokumen
resmis aja terancam lalu bagaimana yang belum memiliki dokumen resmi?
Tentu saja mereka akan kesulitan untuk menuntut hak mereka atas tanah
mereka.
Sumber:
Sumber:
Tidak ada komentar
Posting Komentar